Jumat, 12 Agustus 2011

Kidzania Tempat Bermain dan Belajar

Kidzania Tempat Bermain dan Belajar
Beberapa tahun yang lalu saya pernah memiliki ide pembuatan suatu "theme park" yang berangkat dari pemikiran museum anak-anak yang interaktif. Mereka boleh benar-benar bermain dengan semua alat peraga. Dari sana mereka belajar berbagai macam ilmu dari seni musik, geografi, iptek, sampai ke peraturan lalu lintas. Sebuah ide yang terlalu besar tapi miskin pemasukan komentar beberapa pakar pemasaran yang saya minta untuk mencarikan investor.
Di belahan bumi yang berbeda, di Kanada ternyata seorang seorang ibu rumah tangga lain memiliki mimpi yang hampir sama. Dia berpendapat kedamaian di dunia bisa terwujud bila anak-anak saling mengenal kebudayaan yang berbeda. Maka dia pun bergiat mengumpulkan dana dan benda-benda koleksi, serta mengumpulkan dukungan untuk membangun sebuah Museum untuk Anak-anak. Saya menemukannya ketika sedang browsing digoogle untuk sebuah tulisan tentang museum anak-anak. Kids Around the World adalah nama yang diusung oleh Jessie Smith di Canada. Dia banyak dibantu oleh rekan-rekannya yang bergerak di berbagai bidang, salah seorang di antaranya adalah wartawati TV yang sangat paham mengelola publikasi. Sayangnya dukungan politik dan dana yang tidak cukup akhirnya mengandaskan impian Jessie Smith. Benda pamer yang sudah dikumpulkan dan dibuatnya akhirnya dia sumbangkan ke sebuah museum.
Karena itu saya sangat tertarik ketika mendengar ide pembentukan sebuah kota mini tempat anak-anak bermain dan mengenal berbagai macam pekerjaan. Rupanya ada juga yang berani mencoba, begitu pikir saya. Tentunya ide ini tidak persis sama dengan ide-ide di atas, ide Kidzania lebih terfokus pada profesi dan memang lebih terfokus pada kegiatan mencari dan mengelola uang. Saya berharap pengenalan lebih mendalam terhadap berbagai macam profesi bisa lebih mendalam.
Sudah cukup lama rasanya saya mendengar ide itu tanpa melihat perwujudannya ketika tiba-tiba saya membaca sepotong Press Release nya di sebuah blog. Pemilik blog itu mempertanyakan kehadiran tempat ini. Apakah akan menghasilkan penanaman di alam bawah sadar keterikatan pada sebuah merek tertentu, dan apakah tempat ini hanya akan mengajarkan konsumerisme.
Tidak disangka sekolah anak sulung saya mengajak anak-anak ke Kidzania, begitu nama kota mini ini, sebagai bagian dari field trip tahunan mereka. Setiap tingkat pergi bergantian. Dan bisa terlihat betapa besar pengaruh promosi dari mulut ke mulut ini. Setiap hari anak saya pulang dengan berbagai kisah yang didengarnya dari anak-anak di kelas yang lebih rendah (mereka berangkat dari yang kelas yang paling muda sampai ke kelas 5, anak kelas 6 harus ikut retret jadi tidak mendapat jatah field trip). Seru sekali ceritanya, ada anak kelas satu yang mendapat satu juta kidzos (mata uang di kota Kidzania), dan segala macam cerita.
Pada hari H, anakku yang biasanya sangat sulit dibangunkan pada pagi hari tiba-tiba menjadi sangat rajin. Pagi-pagi sekali dia sudah siap. Dia tidak mau membawa kamera walaupun berjanji akan membuat laporan tentang perjalanannya nanti, katanya:"Aku ke sana mau kerja jadi tidak boleh membawa macam-macam barang kecuali cemilan. Makan siang akan disediakan sekolah".
Begitulah dia pergi dan kembali dengan penuh cerita, dan juga kebanggaan karena sekarang dia memiliki SIM dan kartu ATM juga. Ada beberapa hal menarik yang saya tangkap dari perbincangan dengan anak saya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya walaupun orang tua tidak hadir secara fisik di sana kita juga bisa belajar banyak hal mengenai anak kita melalui komunikasi yang baik. Dia bercerita tentang berbagai hal. Uniknya anak yang biasanya tidak suka pelajaran bahasa Indonesia karena tidak senang menulis tiba-tiba mau membuat blog seperti mamanya.
Hal pertama yang menarik bagi saya adalah kenyataan bahwa anak saya pulang hanya membawa 6 kidzos. "Masih ada sih ma, di ATMku di Kidzania", katanya ketika saya mulai bertanya-tanya kenapa teman-temannya ada yang membawa "uang" lebih banyak, "Temanku si A uangnya banyak tapi dia hanya kerja melulu! Kalau aku selain bekerja aku juga pergi kursus menyetir dan dapat SIM".
Saya juga berhasil melihat sifat kritisnya ketika dia berkomentar "Ma, aneh deh, kok harga sikat gigi di supermarket 60 kidzos sementara penghasilanku kalau bekerja cuma 8 kidzos, jadi saya harus bekerja delapan kali baru bisa membeli sikat gigi". Rupanya walaupun belum pernah bekerja dan menerima gaji sungguhan, dia mengamati juga bahwa harga sikat gigi di supermarket biasa tidak semahal itu perbandingannya. Alasannya saya ,"Ya, kamu kan hanya kerja sebentar karena itu cuma dibayar 8 kidzos".
Ketika saya ingin tahu mengenai ada tidaknya profesi petani maka dengan santai dia menjawab, "Nggak ada dong, kan ini kota ...". Rupanya profesi yang ditekankan lebih pada profesi di perkotaan. Tapi rasanya saya sempat melihat kehadiran tempat penggalian arkeologi di denah lantai dua pada peta yang dibawa anak saya pulang. Mungkin kalau ada profesi guru dan murid maka di ruang kelas bisa ditayangkan film tentang beberapa profesi yang tidak bisa ditemukan di kota mini ini.
Ada seorang anak lain yang masih kelas 2 yang saya tanya pengalamannya di sana. Tampaknya dia masih lebih banyak bermain di mana kesadaran serta kekritisannya belum terlalu terasah. Atau mungkin juga waktu saya untuk mengorek informasi dari anak tadi tidak sebesar waktu interaksi saya dengan anak saya sendiri.
Sementara anak saya bisa berkomentar, "Ma, SIM mama ada tulisan Hondanya tidak?" Dengan pertanyaan ini saya jadi teringat tulisan di blog tadi, karena dia sama sekali tidak bertanya kenapa ATMnya bertulisan BCA. Hal ini karena saya memang sudah memiliki ATM BCA, sehingga buat dia itu adalah hal yang wajar. Sebenarnya orang tualah yang pertama-tama menjadi penanam ketergantungan merek di alam bawah sadar anaknya.
Konsumerisme terasa ketika dia sudah tidak sabar lagi ingin tahu kapan kami bisa berkunjung ke Kidzania lagi. Bahkan dia melupakan ulangan umum yang minggu ini akan dihadapinya karena pikirannya tertuju ke Kidzania. Dia bahkan tidak mau tahu ketika saya katakan bahwa kunjungan ke sana perlu diatur terlebih dahulu karena pasti biaya bermainnya mahal. Dia mungkin tidak percaya karena pada hari itu dia sama sekali tidak mengeluarkan uang.
Saya cukup senang anak saya berkunjung ke Kidzania, saya yakin dengan bekal yang dia peroleh dari kami orangtuanya dia akan bisa mengatasi dampak buruk yang mungkin ada. Ada satu hal yang harus ditekankan bahwa kota mini ini memang memperkenalkan berbagai macam lapangan pekerjaan dengan cara interaktif kepada anak. Mungkin dengan demikian gambarannya akan dunia kerja tidak lagi sekosong ibunya ketika harus memilih jurusan di kelas I SMA pun ketika baru lulus SMA dulu.
Ketika TK memang anak-anak biasa berkunjung ke berbagai tempat untuk mengenal bermacam profesi. Mereka diajak ke pasar modern, ke supermarket, ke kantor pos, ke pemadam kebakaran, dll. Tapi kegiatan itu lebih cenderung ke arah rekreasi dan pengenalan profesi tanpa kesadaran akan nilai ekonomi sebuah profesi. Tentu saja sesuai juga dengan usia mereka yang lebih kecil. Bila dikombinasi dengan pengalaman ini mungkin akan menghasilkan kesadaran yang lebih tinggi akan makna sebuah profesi. Semoga dia juga bisa belajar simulasi bagaimana mendapatkan uang dan mengelolanya.
Beberapa hari setelah kunjungan anak saya saya sempat melihat kunjungan sekolah lain dengan bis yang serupa dengan bis yang menjemput anak saya. Menurut saya publikasi awal dari pengelola Kidzania sudah sangat bagus, tinggal bagaimana mereka mengelola agar kegiatan di dalamnya sungguh-sungguh memiliki nilai pembelajaran dalam setiap kunjungan anak.
Harapan saya pengelola tetap memperhatikan segi pendidikan dalam pengembangan tempat ini dan tidak semata-mata berorientasi pada keuntungan. Di lain pihak keberhasilan pengelola juga bisa meningkatkan kepercayaan investor untuk mendanai kegiatan edukatif bagi anak-anak.
Ada satu masalah yang agak mengganggu saya yaitu bagaimana memberikan kesempatan kepada anak-anak yang kurang mampu untuk ikut serta belajar disini tanpa menanamkan kecemburuan sosial. Walaupun mungkin bisa diberikan kesempatan oleh pengelola bagi panti asuhan maupun anak jalanan untuk datang pada suatu kunjungan, keinginan untuk kembali kesana yang ada pada setiap anak bisa membentuk kecemburuan sosial kepada anak yang mampu masuk dan bermain disana.
Setidaknya suatu langkah sudah dibuat, semoga dengan mencoba berpikir positif langkah-langkah berikutnya bisa terus memperkaya generasi muda kita.
Ketika akan menaikkan tulisan ini saya mencari website Kidzania untuk link tulisan saya dan menemukan bahwa mereka juga membuka blog untuk anak-anak bercerita tentang kesan-kesan mereka di sana. Semoga semangat menulis mereka dan saran kritik mereka juga menjadi bagian dari pembelajaran bersama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar